Pada masa kejayaan negeri-negeri Muslim, setiap kawasan memiliki corak dan kurikulum pendidikan dasar yang berbeda dalam mengajarkan anak-anak mereka. Di wilayah Maghrib (Maroko), metode pendidikan berpusat sepenuhnya pada Al-Qur’an. Anak-anak hanya diajarkan membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an, termasuk mendalami rasm (tata tulis) serta perbedaan qira’at di antara para penghafal. Mereka sama sekali tidak mencampurkan pelajaran lain seperti fiqih, Hadis, atau bahasa Arab. Hasilnya, generasi mereka dikenal sangat kuat dalam hafalan dan pelestarian rasm Al-Qur’an, namun banyak yang berhenti pada tahap itu tanpa melanjutkan ke ilmu-ilmu lain.
Berbeda dengan itu, penduduk Andalusia (Spanyol) menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan, tetapi mereka memperkaya kurikulum dengan berbagai ilmu pendukung. Anak-anak tidak hanya belajar Al-Qur’an, melainkan juga syair, kaidah bahasa Arab, retorika, dan seni menulis indah. Karena itu, mereka tumbuh dengan kemampuan literasi yang tinggi dan kepekaan sastra yang kuat.
Sementara itu, penduduk Afrika Utara, khususnya Tunisia, mengikuti jejak Andalusia karena warisan para ulama Andalus yang hijrah ke sana. Mereka menggabungkan pengajaran Al-Qur’an dengan Hadis serta beberapa dasar ilmu-ilmu agama. Walau demikian, fokus utama tetap pada hafalan Al-Qur’an dan penguasaan qira’at. Kaligrafi juga diajarkan, namun hanya sebagai pelengkap.
Adapun penduduk wilayah Timur, seperti Irak dan Syam, memiliki sistem yang berbeda. Mereka memadukan pelajaran Al-Qur’an dengan kitab-kitab ilmu dan kaidah ilmu dasar sejak usia muda. Akan tetapi, kaligrafi tidak termasuk dalam kurikulum dasar, melainkan dipelajari secara terpisah melalui guru-guru khusus. Karena itu, pelajar di wilayah Timur dikenal kuat dalam landasan keilmuan dan sanad kitab, meskipun keterampilan menulis indah tidak menjadi keunggulan utama mereka.
Dari perbandingan ini tampak bahwa setiap wilayah memiliki karakter tersendiri dalam pendidikan dasar: Maghrib menekankan hafalan murni, Andalusia menggabungkannya dengan sastra dan kaligrafi, Afrika menambahkannya dengan Hadis, dan wilayah Timur memperluasnya dengan beragam disiplin ilmu.
Benang Merah Kurikulum Pendidikan Dasar
Meskipun setiap wilayah Muslim memiliki metode yang berbeda, benang merahnya tetap satu: Al-Qur’an menjadi fondasi utama pendidikan Islam. Ia berperan sebagai akar yang menumbuhkan batang dan cabang berbagai disiplin ilmu, sementara perbedaan metode hanyalah perbedaan cara menyiram dan merawat pohon tersebut. Pendidikan Qur’ani di masa kanak-kanak merupakan taman pertama tempat iman bersemi, dan dari taman itu tumbuh generasi yang beragam warna, namun berakar pada sumber yang sama: Al-Qur’an.
Di Mana Posisi Al-Qur’an dalam Kurikulum Pendidikan Islam Hari Ini?
Hari ini, di banyak sekolah dasar yang menyandang nama “Islam,” Al-Qur’an kerap tidak lagi menjadi nadi kurikulum, melainkan hanya hiasan simbolik; sekadar mata pelajaran tambahan yang berdiri sejajar, bahkan tersisih, di antara deretan pelajaran lainnya. Ia diperlakukan seperti identitas formal, bukan sebagai fondasi dasar atau landasan. Padahal, Al-Qur’an seharusnya menjadi sumber nilai, kerangka berpikir, dan penentu arah seluruh proses pendidikan.Sebagian sekolah dasar malah menjadikan Al-Qur’an sebagai “jam pelajaran pagi” yang cepat dilalui, tanpa dihidupkan dalam metode, visi, dan ruh pengajaran. Maka, yang muncul adalah murid-murid yang hafal huruf tapi asing terhadap makna, fasih melafazkan tapi kehilangan arah nilai.
Pendidikan Dasar Islam modern sering kali mengulang nama Al-Qur’an di papan visi-misi mereka, tapi gagal menempatkannya sebagai ruh kurikulum, tempat seluruh cabang ilmu berakar dan berorientasi. Singkatnya, Al-Qur’an masih hadir, tapi lebih sering sebagai pengunjung kehormatan, bukan sebagai tuan rumah pengetahuan.
Dalam sejarah kurikulum pendidikan dasar Islam, Al-Qur’an tidak diajarkan sebagai jam tambahan, ekstrakurikuler, atau kursus-kursus tahsin dan tajwid. Al-Qur’an adalah inti dari kurikulum pendidikan dasar, bukan sisipan yang sering dianaktirikan.
Dilema Semu Dunia Pendidikan Dasar Islam
Banyak sekolah Dasar Islam modern hari ini tampak terperangkap dalam dilema semu: antara menjadi “islami” atau “ilmiah.” Mereka khawatir bila menjadikan Al-Qur’an sebagai kurikulum inti, maka anak didik akan kehilangan daya saing dalam sains modern. Akibatnya, Al-Qur’an ditempatkan di ruang khusus yang terhormat namun terpisah, sementara sains berdiri di ruang utama.Padahal sejarah Islam membantah ketakutan itu secara telak. Para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, dan Jabir ibn Hayyan adalah contoh nyata bagaimana sentuhan Al-Qur’an justru melahirkan kehausan terhadap sains. Mereka bukan hanya ahli dalam satu bidang ilmu tertentu, tapi juga polimatik (menguasai) banyak bidang ilmu. Orang yang akrab dengan Al-Qur’an akan melihat jagat raya sebagai tafsir panjang dari ayat-ayat Allah.
Sistem pendidikan hari ini lebih takut “terlalu Qur’ani” daripada “terlalu sekuler.” Kita lupa bahwa sains Islam lahir bukan karena memisahkan wahyu dari akal, tetapi karena menautkannya dalam satu pandangan dunia yang utuh. Maka, selama Al-Qur’an hanya dijadikan pelajaran tambahan dan bukan kerangka epistemologi pendidikan, sekolah Islam akan terus mencetak lulusan yang hafal ayat tapi kehilangan arah dalam membaca alam.
Bukti Nyata yang Tak Terbantahkan
Dunia akademik saat ini sangat terfokus pada istilah 'Fakta Ilmiah'. Segala hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah – seringkali dengan standar yang bersifat bias – dianggap tidak dapat diterima. Maka, mari kita telaah fakta-fakta sejarah.
Di masa lalu, dunia Islam tidak pernah memisahkan antara wahyu dan ilmu. Para cendekiawannya hidup dalam keyakinan bahwa memahami alam semesta adalah bagian dari memahami firman Allah. Dari keyakinan itulah lahir para ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina: sang dokter dan filsuf yang menulis Al-Qanun fi al-Tibb, kitab kedokteran yang berabad-abad menjadi rujukan di Eropa. Ia menghafal Al-Qur’an di usia 10 tahun dan meyakini bahwa ilmu pengobatan hanyalah salah satu jalan mengenal kebijaksanaan Allah dalam penciptaan manusia.
Ada pula Al-Khawarizmi: bapak aljabar, yang menemukan sistem bilangan dan algoritma dari semangat keteraturan ilahi dalam ayat-ayat tentang keseimbangan. Al-Biruni, dengan kehausan pengetahuannya, mengkaji bumi, bintang, dan waktu dengan presisi menakjubkan, sambil menulis refleksi bahwa keteraturan kosmos adalah tanda kebesaran Sang Pencipta. Ibn al-Haytham, ahli optik, memulai eksperimen ilmiahnya bukan dari keraguan terhadap wahyu, melainkan dari keyakinan bahwa penglihatan manusia adalah anugerah yang harus diteliti agar lebih mensyukuri nikmat Allah.
Mereka semua bukan sekadar ilmuwan, tapi pembaca ayat-ayat Allah dalam dua kitab: Al-Qur’an dan alam semesta. Bagi mereka, ilmu tidak pernah netral; ia bermakna jika diarahkan pada pengenalan terhadap Allah. Maka, menjadikan Al-Qur’an sebagai pusat kurikulum bukanlah langkah mundur dari sains, melainkan kembali ke akar peradaban ilmu itu sendiri. Ketika wahyu menjadi ruh pengetahuan, lahirlah generasi yang tajam nalar sekaligus jernih qalbunya.
Semoga dilema semu serta keraguan ini segera sirna, agar tak ada lagi generasi yang tumbuh dalam perceraian antara wahyu dan ilmu pengetahuan. Jika perceraian ini sudah terlanjur terjadi, maka tugas kita semua untuk menjadikan kedua mantan pasangan ini rujuk kembali.
Referensi:
Al Jaami’ fii Kutubi Aadaab al Mu’allimiin: Abi Abdillah ‘Adil bin Abdillah bin Sa’d Alu Hamdan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar