Setiap manusia membutuhkan makanan, minuman, dan udara
untuk mempertahankan kehidupan jasmaninya. Kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
dasar ini akan menyebabkan tubuh menjadi lemah dan sakit. Jika tubuh sama
sekali tidak mendapatkan asupan tersebut, maka kematian akan terjadi.
Begitu pula dengan hati, ia memiliki kebutuhan yang
tak kalah penting. Iman adalah makanan bagi hati, yang menanamkan keyakinan dan
ketenangan dalam diri. Lemahnya iman akan menimbulkan keraguan dan kegelisahan,
sedangkan hilangnya iman sepenuhnya akan membuat hati mati, sebagaimana tubuh
yang kehilangan makanan, minuman, dan udara.
Hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang, dan iman
adalah bekal yang menjaganya tetap bermakna. Siapa pun yang menempuhnya tanpa
keyakinan terhadap arah yang dituju, ibarat seorang musafir yang tersesat di
tengah perjalanan tanpa pegangan, tanpa peta, dan tanpa tujuan yang jelas.
Tanpa iman, hati akan rapuh, hidup terasa hampa, dan langkah menjadi goyah di
persimpangan yang tak berujung.
Iman
adalah kunci bagi seseorang untuk bisa memasuki pintu surga. Surga, dengan
segala kenikmatan yang tak terhingga, tentulah memiliki harga yang sangat
mahal. Oleh karena itu, kunci untuk memasukinya pun pastilah sangat berharga.
Iman
bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan mudah atau dimiliki oleh siapa
saja yang menginginkannya tanpa usaha dan kesungguhan. Ia memerlukan komitmen,
pengorbanan, dan ketulusan dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana seorang
petani yang harus menanam, merawat, dan bersabar sebelum menuai hasil panennya,
demikian pula iman memerlukan usaha dan kesungguhan agar berakar kuat dalam
hati.
Siapa
pun dapat mengatakan bahwa dirinya telah beriman. Namun, nilai sejati dari iman
tidak terletak pada apa yang diucapkan, melainkan harus tercermin dalam sikap
dan perbuatan. Sebagaimana emas yang harus melewati api untuk menjadi murni,
iman juga harus diuji agar kemurniannya terbukti. Oleh karena itu, Allah ﷻ tidak membiarkan seseorang hanya cukup mengaku beriman tanpa
mengujinya untuk membuktikan ketulusan dan keteguhannya.
Allah
ﷻ
berfirman:
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن
يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ
Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji? [Al 'Ankabut:2]
Ujian bukanlah tanda bahwa Allah ﷻ ingin menyulitkan
hamba-Nya, melainkan cara-Nya untuk menyaring, menguatkan, dan meninggikan
derajat orang-orang yang benar-benar memiliki iman dalam hati.
Keyakinan yang salah dapat berujung
fatal, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Allah ﷻ tidak
menghendaki hamba-Nya tersesat dalam keyakinan yang salah. Bahkan, saat manusia
keliru dalam perkiraan saja, Allah langsung menegurnya, sebagaimana dalam ayat
ini: "Apakah manusia itu mengira...?"
Kisah Mihja’
Dalam kitab Asbabun Nuzul karya
Al-Wahidi, diceritakan bahwa Mihja’, Maula Umar bin Khattab gugur di Perang
Badar akibat panah yang dilepaskan oleh Amir bin Hadhrami dari kalangan
musyrikin. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi Ayah serta Istrinya. Atas
kesedihan keluarga Mihja’, Allah ﷻ
menurunkan ayat dalam QS. Al-‘Ankabut: 2 yang menjadi pelipur lara sekaligus
pengingat bahwa setiap orang yang menyatakan keimanan tidak akan dibiarkan
tanpa ujian yang mengiringinya.
Kisah Mihja’ bukan sekadar catatan
sejarah, tetapi simbol bahwa ujian akan selalu menyertai pengakuan iman. Jika
Allah ﷻ mengizinkan seorang mantan budak yang tulus seperti Mihja’
gugur di medan perang, maka ujian-Nya pasti memiliki tujuan agung yang
melampaui kesedihan manusia.
Sikap dan tindakan kita dalam menghadapi
ujian menjadi cermin hakikat keimanan. Seperti seorang siswa yang menghadapi
berbagai macam soal dalam ujian, jawaban yang diberikan mencerminkan seberapa
dalam pemahamannya dan seberapa besar upayanya dalam mempersiapkan diri. Begitu
pula dalam kehidupan; setiap ujian yang datang adalah kesempatan untuk
membuktikan sejauh mana keimanan tertanam dalam hati kita dan sejauh mana kita
lurus di jalan-Nya.
Bukankah seorang pembuat keramik berhak
menguji karyanya sebelum menjualnya? Ia memastikan keramik itu tahan panas dan
tidak retak. Begitu pula Allah ﷻ berhak
menguji ciptaan-Nya, hingga terbukti bahwa iman mereka siap menghadapi segala
tantangan.
Ayat ini tidak dimaksudkan untuk
menakut-nakuti kita dari menyatakan keimanan, sama sekali tidak! Sebaliknya,
ayat ini ingin menegaskan bahwa iman akan diuji untuk menunjukkan kualitasnya.
Maka, peluk erat iman; jangan lepaskan saat ujian datang. Lalu, sambutlah ujian
dengan lapang dada, layaknya tamu yang datang sementara sebelum pergi. Ketahuilah,
di balik setiap ujian, tersimpan pelajaran dan hikmah yang berharga. Ujian
merupakan tanda cinta Allah kepada hamba-Nya, karena melalui ujian itu, Dia
ingin mengangkat derajat mereka ke tingkat yang lebih mulia.
“Jika kita enggan
menyambut ujian, lepaskan saja iman itu. Maka pada saat itu, apa yang menimpa
kita bukan lagi ujian, melainkan hukuman.”
Kita Tidak Sendiri
وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ .....
Dan sesungguhnya
kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, .....
[Al 'Ankabut: 3]
Ujian ibarat tumpukan batu yang menimpa
secara tiba-tiba; ia kerap meninggalkan beban yang begitu berat, menorehkan
luka, dan meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Beban itu akan terasa semakin
menekan, luka semakin menganga, dan rasa sakit semakin perih jika kita merasa
bahwa semua itu harus ditanggung sendirian tanpa ada yang memahami.
Allah ﷻ
memahami diri kita lebih dari seorang ibu atau ayah memahami anaknya. Ia tidak
pernah membiarkan kita merasa sendirian dalam menghadapi ujian dan cobaan,
meskipun terasa berat. Dalam kasih sayang-Nya, Allah mengingatkan bahwa banyak
orang sebelum kita telah menghadapi hal yang sama dan berhasil melaluinya.
Betapa besar cinta-Nya kepada hamba-Nya, Ia ingin kita menyadari kehadiran-Nya,
merasakan kasih sayang-Nya, dan dengan itu, semakin kuat dalam menghadapi
setiap ujian hidup.
Allah Maha Tahu, Kenapa Kita Tetap Diuji?
..... فَلَيَعۡلَمَنَّ
ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ
..... maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta. [Al 'Ankabut:3]
Mungkin sempat terbesit dalam pikiran
kita, Allah Maha Mengetahui, termasuk iman yang ada dalam hati kita. Lalu
kenapa kita tetap diuji untuk membuktikan kualitas iman?
Iya, benar, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, tapi para hamba-Nya tidak demikian. Para malaikat tidak tahu iman yang
ada di hati kita, para nabi pun tidak tahu. Ujian yang kita lalui, dan
bagaimana cara kita menghadapinya akan memberikan informasi kepada
makhluk-makhluk Allah tentang kualitas iman kita.
Allah ﷻ ingin
memerkan hasil ujian kita di hadapan para malaikat-Nya. Allah juga ingin agar
orang-orang yang ada di sekitar kita mengetahui jati diri kita. Allah akan
sangat membanggakan hasil baik yang kita peroleh, sebagaimana Allah pernah
membanggakan Nabi Adam di hadapan para malaikat-Nya.
Seorang Penggembala di Kaki Bukit
يَعْجَبُ
رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ
بِالصَّلاَةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى
عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي
وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
‘Rabbmu ‘Azza wa Jalla kagum
terhadap seorang penggembala domba di sebuah kaki bukit yang menyerukan azan
untuk shalat, kemudian dia melaksanakan salat. Maka Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Ia mengumandangkan azan dan
menegakkan salat. Ia takut kepada-Ku. Sungguh Kuampuni dosa hamba-Ku ini dan
Kumasukkan dia ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud [1203],
an-Nasa’i [666])
Seorang penggembala yang
sehari-harinya hanya berinteraksi dengan domba-domba gembalaannya, dalam ruang
lingkup perbukitan dan lembah. Namun, ketika ia menyerukan azan dan mendirikan
shalat di tengah kesunyian, Allah membanggakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar