Konsekuensi Pernyataan Iman: Menghadapi Ujian sebagai Bukti - Abduh Al Baihaqi

Tadabbur, Parenting, Pendidikan, Psikologi

Breaking

Konsekuensi Pernyataan Iman: Menghadapi Ujian sebagai Bukti


Setiap manusia membutuhkan makanan, minuman, dan udara untuk mempertahankan kehidupan jasmaninya. Kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini akan menyebabkan tubuh menjadi lemah dan sakit. Jika tubuh sama sekali tidak mendapatkan asupan tersebut, maka kematian akan terjadi.

Begitu pula dengan hati, ia memiliki kebutuhan yang tak kalah penting. Iman adalah makanan bagi hati, yang menanamkan keyakinan dan ketenangan dalam diri. Lemahnya iman akan menimbulkan keraguan dan kegelisahan, sedangkan hilangnya iman sepenuhnya akan membuat hati mati, sebagaimana tubuh yang kehilangan makanan, minuman, dan udara.

Hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang, dan iman adalah bekal yang menjaganya tetap bermakna. Siapa pun yang menempuhnya tanpa keyakinan terhadap arah yang dituju, ibarat seorang musafir yang tersesat di tengah perjalanan tanpa pegangan, tanpa peta, dan tanpa tujuan yang jelas. Tanpa iman, hati akan rapuh, hidup terasa hampa, dan langkah menjadi goyah di persimpangan yang tak berujung.

Iman adalah kunci bagi seseorang untuk bisa memasuki pintu surga. Surga, dengan segala kenikmatan yang tak terhingga, tentulah memiliki harga yang sangat mahal. Oleh karena itu, kunci untuk memasukinya pun pastilah sangat berharga.

Iman bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan dengan mudah atau dimiliki oleh siapa saja yang menginginkannya tanpa usaha dan kesungguhan. Ia memerlukan komitmen, pengorbanan, dan ketulusan dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana seorang petani yang harus menanam, merawat, dan bersabar sebelum menuai hasil panennya, demikian pula iman memerlukan usaha dan kesungguhan agar berakar kuat dalam hati.

Siapa pun dapat mengatakan bahwa dirinya telah beriman. Namun, nilai sejati dari iman tidak terletak pada apa yang diucapkan, melainkan harus tercermin dalam sikap dan perbuatan. Sebagaimana emas yang harus melewati api untuk menjadi murni, iman juga harus diuji agar kemurniannya terbukti. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan seseorang hanya cukup mengaku beriman tanpa mengujinya untuk membuktikan ketulusan dan keteguhannya.

Allah berfirman:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ 

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji? [Al 'Ankabut:2]

Ujian bukanlah tanda bahwa Allah ingin menyulitkan hamba-Nya, melainkan cara-Nya untuk menyaring, menguatkan, dan meninggikan derajat orang-orang yang benar-benar memiliki iman dalam hati.

Keyakinan yang salah dapat berujung fatal, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Allah tidak menghendaki hamba-Nya tersesat dalam keyakinan yang salah. Bahkan, saat manusia keliru dalam perkiraan saja, Allah langsung menegurnya, sebagaimana dalam ayat ini: "Apakah manusia itu mengira...?"

 

Kisah Mihja’

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Al-Wahidi, diceritakan bahwa Mihja’, Maula Umar bin Khattab gugur di Perang Badar akibat panah yang dilepaskan oleh Amir bin Hadhrami dari kalangan musyrikin. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi Ayah serta Istrinya. Atas kesedihan keluarga Mihja’, Allah menurunkan ayat dalam QS. Al-‘Ankabut: 2 yang menjadi pelipur lara sekaligus pengingat bahwa setiap orang yang menyatakan keimanan tidak akan dibiarkan tanpa ujian yang mengiringinya.

Kisah Mihja’ bukan sekadar catatan sejarah, tetapi simbol bahwa ujian akan selalu menyertai pengakuan iman. Jika Allah mengizinkan seorang mantan budak yang tulus seperti Mihja’ gugur di medan perang, maka ujian-Nya pasti memiliki tujuan agung yang melampaui kesedihan manusia.

Sikap dan tindakan kita dalam menghadapi ujian menjadi cermin hakikat keimanan. Seperti seorang siswa yang menghadapi berbagai macam soal dalam ujian, jawaban yang diberikan mencerminkan seberapa dalam pemahamannya dan seberapa besar upayanya dalam mempersiapkan diri. Begitu pula dalam kehidupan; setiap ujian yang datang adalah kesempatan untuk membuktikan sejauh mana keimanan tertanam dalam hati kita dan sejauh mana kita lurus di jalan-Nya.

Bukankah seorang pembuat keramik berhak menguji karyanya sebelum menjualnya? Ia memastikan keramik itu tahan panas dan tidak retak. Begitu pula Allah berhak menguji ciptaan-Nya, hingga terbukti bahwa iman mereka siap menghadapi segala tantangan.

Ayat ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti kita dari menyatakan keimanan, sama sekali tidak! Sebaliknya, ayat ini ingin menegaskan bahwa iman akan diuji untuk menunjukkan kualitasnya. Maka, peluk erat iman; jangan lepaskan saat ujian datang. Lalu, sambutlah ujian dengan lapang dada, layaknya tamu yang datang sementara sebelum pergi. Ketahuilah, di balik setiap ujian, tersimpan pelajaran dan hikmah yang berharga. Ujian merupakan tanda cinta Allah kepada hamba-Nya, karena melalui ujian itu, Dia ingin mengangkat derajat mereka ke tingkat yang lebih mulia.

“Jika kita enggan menyambut ujian, lepaskan saja iman itu. Maka pada saat itu, apa yang menimpa kita bukan lagi ujian, melainkan hukuman.”

 

Kita Tidak Sendiri

وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ .....

Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, .....
[Al 'Ankabut: 3]

Ujian ibarat tumpukan batu yang menimpa secara tiba-tiba; ia kerap meninggalkan beban yang begitu berat, menorehkan luka, dan meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Beban itu akan terasa semakin menekan, luka semakin menganga, dan rasa sakit semakin perih jika kita merasa bahwa semua itu harus ditanggung sendirian tanpa ada yang memahami.

Allah memahami diri kita lebih dari seorang ibu atau ayah memahami anaknya. Ia tidak pernah membiarkan kita merasa sendirian dalam menghadapi ujian dan cobaan, meskipun terasa berat. Dalam kasih sayang-Nya, Allah mengingatkan bahwa banyak orang sebelum kita telah menghadapi hal yang sama dan berhasil melaluinya. Betapa besar cinta-Nya kepada hamba-Nya, Ia ingin kita menyadari kehadiran-Nya, merasakan kasih sayang-Nya, dan dengan itu, semakin kuat dalam menghadapi setiap ujian hidup.

 

Allah Maha Tahu, Kenapa Kita Tetap Diuji?

..... فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ

..... maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [Al 'Ankabut:3]

Mungkin sempat terbesit dalam pikiran kita, Allah Maha Mengetahui, termasuk iman yang ada dalam hati kita. Lalu kenapa kita tetap diuji untuk membuktikan kualitas iman?

Iya, benar, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tapi para hamba-Nya tidak demikian. Para malaikat tidak tahu iman yang ada di hati kita, para nabi pun tidak tahu. Ujian yang kita lalui, dan bagaimana cara kita menghadapinya akan memberikan informasi kepada makhluk-makhluk Allah tentang kualitas iman kita.

Allah ingin memerkan hasil ujian kita di hadapan para malaikat-Nya. Allah juga ingin agar orang-orang yang ada di sekitar kita mengetahui jati diri kita. Allah akan sangat membanggakan hasil baik yang kita peroleh, sebagaimana Allah pernah membanggakan Nabi Adam di hadapan para malaikat-Nya.

 

Seorang Penggembala di Kaki Bukit

يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ، يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ، وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ، وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ، يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

‘Rabbmu ‘Azza wa Jalla kagum terhadap seorang penggembala domba di sebuah kaki bukit yang menyerukan azan untuk shalat, kemudian dia melaksanakan salat. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku ini! Ia mengumandangkan azan dan menegakkan salat. Ia takut kepada-Ku. Sungguh Kuampuni dosa hamba-Ku ini dan Kumasukkan dia ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud [1203], an-Nasa’i [666])

Seorang penggembala yang sehari-harinya hanya berinteraksi dengan domba-domba gembalaannya, dalam ruang lingkup perbukitan dan lembah. Namun, ketika ia menyerukan azan dan mendirikan shalat di tengah kesunyian, Allah membanggakannya.

Bagaimana dengan manusia yang hidup di tengah keramaian dan rawannya konflik dengan sesama, ia menanggung dan memikul berbagai bentuk ujian dalam ruang lingkup yang beraneka ragam. Lalu ia tetap berusaha kuat, tabah, sabar, dan memasuki mihrab doanya. Bukankah ia lebih berhak untuk dibanggakan oleh Allah di hadapan segenap makhluk-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar