Perayaan 17 Agustus: Antara Euforia dan Esensi Kemerdekaan - Abduh Al Baihaqi

Tadabbur, Parenting, Pendidikan, Psikologi

Breaking

Perayaan 17 Agustus: Antara Euforia dan Esensi Kemerdekaan


Tanggal 17 Agustus merupakan momen yang sangat istimewa dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada hari itulah, tepatnya pada tahun 1945, Bung Karno membacakan teks proklamasi yang menandai lahirnya Indonesia sebagai bangsa merdeka. Sejak saat itu, setiap tahunnya, bangsa ini memperingati Hari Kemerdekaan sebagai wujud syukur atas anugerah besar tersebut.

Namun, sungguh ironi, momen sakral ini kini lebih banyak diisi dengan seremonial yang hampa makna. Momen tersebut kini dipenuhi dengan nyanyian, tarian, kostum nyeleneh, dan euforia yang berlalu begitu saja. Semangat perjuangan, nilai pengorbanan, dan ruh kemerdekaan seolah terkubur dalam kemeriahan tanpa substansi. Bukan berarti semua bentuk perayaan tidak diperbolehkan, karena ada pula yang tetap selaras dengan nilai-nilai perjuangan. Namun, secara umum, selama ini kita menyaksikan pergeseran dari esensi kepada hiburan semata.

Padahal, kemerdekaan tidak datang tiba-tiba. Ia adalah buah dari perjuangan panjang, pengorbanan jiwa dan raga, serta proses pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Bung Karno sendiri (sebagaimana disebutkan dalam laman rri.co.id), dalam memilih tanggal proklamasi, tidak sekadar melihat kalender. Beliau mempertimbangkan nilai-nilai sakral: bulan Ramadhan waktu muslimin berpuasa, tanggal 17 yang bertepatan dengan turunnya Al-Qur’an, jumlah rakaat dalam shalat lima waktu, serta jatuhnya hari itu pada Jumat Legi, hari yang diyakini penuh keberkahan.

Tutur Bung Karno, “Saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci”.[1] Jika merujuk pada alasan Bung Karno dalam memilih tanggal 17, maka bangsa indonesia (khususnya muslimin) dalam merayakan kemerdekaan kemerdekaan harus menghidupkan dan menjaga nilai-nilai berikut:

·       Pengendalian hawa nafsu, karena proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada bulan Ramadhan, saat muslimin berpuasa dan mencapai ruhiyah tertingginya.

·       Berpegang teguh pada nilai-nilai dan hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.

·       Senantiasa menjaga hubungan baik dengan Tuhan Yang Maha Esa, di antaranya dengan menjaga shalat.

Meski bukan seorang ulama, Bung Karno sangat menghargai nilai-nilai spiritual yang menyertai kemerdekaan. Lalu, mengapa kini generasi penerus justru mengabaikan makna tersebut? Padahal, kemerdekaan tidak diraih dengan nyanyian dan tarian, melainkan dengan peluh, darah, dan air mata. Maka, merayakan kemerdekaan tanpa menghidupkan dan menjaga ruh perjuangan, adalah bentuk pemiskinan makna sejarah.


Kaum Terpelajar: Pilar Tak Terpisahkan dari Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah tercapai tanpa keterlibatan seluruh elemen bangsa. Kelompok yang memainkan peran sangat strategis adalah kaum terpelajar, khususnya kyai dan santri. Mereka tidak hanya berjuang di majlis-majlis ilmu dan meja perundingan, akan tetapi mereka juga berjuang di medan laga. Bahkan, mereka juga turut serta dalam meletakkan dasar-dasar ideologi, moral, dan politik bagi bangsa yang baru merdeka.

 

Kaum Terpelajar dan Organisasi Modern

Kemunculan kaum terpelajar adalah buah dari Politik Etis Belanda, yang secara tak langsung membuka akses pendidikan bagi pribumi. Lahirnya generasi terdidik seperti Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Soetomo, dan Bung Hatta menjadi titik balik penting dalam sejarah bangsa.

Kaum terpelajar mendirikan berbagai organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Mereka mengubah arah perjuangan dari lokal menjadi nasional, dari fisik menjadi diplomatik dan ideologis, dan dari sporadis menjadi terstruktur serta strategis. Sarekat Islam, misalnya, pernah menjadi gerakan massa terbesar dengan anggota mencapai ratusan ribu.

Bahkan dalam perumusan dasar negara, mereka memainkan peran sentral. Dalam BPUPKI dan PPKI, tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Muzakkir, dan Haji Agus Salim menjadi jembatan antara nilai Islam dan nasionalisme. Dalam Panitia Sembilan, mereka merumuskan Piagam Jakarta, yang menjadi embrio dari Pancasila.

 

Peran Santri dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Salah satu momen paling monumental adalah dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi ini menyerukan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban agama (jihad fi sabilillah) bagi setiap Muslim, terutama yang berada dalam radius 94 km dari kedudukan musuh. Seruan ini membakar semangat ribuan santri dan umat Islam untuk bangkit mempertahankan tanah air.

Sebagai wujud konkret, dibentuklah Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Hizbullah beranggotakan para santri muda, sementara Sabilillah dihuni oleh para kyai dan pemimpin pesantren. Keduanya menjadi garda terdepan dalam Pertempuran 10 November di Surabaya, sebuah peristiwa heroik yang hingga kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan.

Tak hanya tempat mengajar agama, pesantren menjadi pusat perlawanan. Para kyai seperti KH. Amin Sepuh dari Cirebon bahkan melatih santri dalam ilmu bela diri sebagai persiapan menghadapi penjajah.

 

Warisan yang Menginspirasi

Perjuangan para santri dan kaum terpelajar melahirkan fondasi bangsa yang kuat: religius, nasionalis, dan demokratis. Mereka membuktikan bahwa Islam dan nasionalisme bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan bisa bersinergi membangun bangsa.

Kini, tugas generasi penerus bukan sekadar merayakan kemerdekaan, tapi mengisi kemerdekaan dengan nilai, akhlak, dan pembangunan. Menghidupkan kembali semangat perjuangan, bukan sekadar dalam bentuk seremoni, tetapi dalam tindakan nyata.

Lembaran-lembaran sejarah membuktikan bahwa pendidikan adalah faktor utama, yang sangat berpengaruh dalam memerdekakan sebuah bangsa. Pendidikan membebaskan seorang individu dari gelapnya kebodohan, pendidikan membebaskan masyarakat dari jerat fanatisme kelompok, dan pendidikan memerdekakan sebuah bangsa dari penjajahan.


[1] https://rri.co.id/nasional/887768/alasan-soekarno-pilih-17-agustus-1945-jadi-hari-kemerdekaan-ri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar